terbaik.co.id – Beberapa minggu ini, harga Bahan Bakar Minyak atau BBM menjadi topik hangat yang diperbincangkan masyarakat Indonesia.
Pasalnya, harga BBM termasuk BBM sejenis pertalite dan solar bersubsidi dikabarkan akan naik pada 1 September 2022.
Arifin Tasrif selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, sejauh ini pihaknya belum merilis penyesuaian harga terbaru BBM terkini.
Namun, kenaikan harga pertalite dan solar bersubsidi dipastikan akan segera diumumkan pada 31 Agustus 2022.
Wacana kenaikan harga BBM ini turut menarik sejumlah ekonom membuka suara, salah satunya ialah Prof. Muhammad Handry Imansyah, seorang Guru Besar Ilmu Ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara, Handry menyebut kenaikan harga BBM sudah semestinya dilakukan pemerintah, mengingat beban subsidi yang besar sekaligus hal ini dapat membantu mengatasi persoalan subsidi yang salah sasaran.
“Kenaikan harga BBM memang tidak dapat dihindari karena beban subsidi yang sangat besar dan salah sasaran,” tuturnya.
Potensi pembengkakan subsidi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) akibat tingginya harga minyak tanah global ditambah dengan kondisi Indonesia yang saat ini menjadi net importir BBM , turut menjadi perhatian Handry.
Menurut dia, skema subsidi dua BBM yang diterapkan pemerintah selama ini, dinilainya tidak tepat. Idealnya, subsidi itu harusnya menyasar langsung pada masyarakat yang tidak mampu.
Berdasarkan data Suvei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), golongan mampu dan pengusaha besar menjadi pengguna yang paling banyak mengonsumsi BBM jenis pertalite dan solar bersubsidi.
“Sebenarnya, jumlah kelompok sasaran masyarakat berpendapatan rendah ini relatif rendah konsumsi BBMnya, sehingga memberikan bantuan kepada mereka melalui skema pembatasan konsumsi lebih mudah,” tutur Handry.Pikir Handry, penyesuaian harga BBM bagi dua golongan tersebut dapat dilakukan pemerintah dengan mengikuti harga pasar dunia.
Sementara untuk golongan masyarakat tidak mampu diberikan bantuan oleh pemerintah.
Bila pemerintah telah menerapkan subsidi seperti itu, maka dana subsidi yang demikian besar dapat dialokasikan untuk program pembangunan lainnya.
Dalam pemaparannya, Handry memberikan contoh penerapan subsidi skema agar tepat sasaran, misalnya dengan dua cara, yaitu berupa membeli BBM dengan kartu miskin atau mendorong penggunaan QR Qode dengan bantuan aplikasi MyPertamina.“Dengan fuel card atau QR Code atau skema lainnya, pembatasan konsumsi dalam periode tertentu (sebulan) dan harga khusus bila menggunakan aplikasi tersebut,” ucapnya.
Menurut Handry, pola pengendalian konsumsi seperti ini seharusnya sudah dilakukan sejak dulu. Sehingga pemerintah akan mudah melakukan penyesuaian harga sesuai ide penghapusan premium ke pertalite yang awalnya akan mengikuti harga pasar dunia.
Penerapan subsidi yang demikian juga akan memudahkan pemerintah dalam mengidentifikasi konsumsi BBM .
Bila konsumsi konsumen bersubsidi telah mencapai batas, maka konsumen akan kehilangan harga khusus dan akan dikenakan harga normal.
Kenaikan harga BBM merupakan fenomenal global, sebab permasalahan semacam ini tidak hanya dialami di Indonesia, melainkan juga menjadi hal yang harus dihadapi di berbagai Negara. (Tini Fitriyani)***