Ada lagi yang menulis, ‘Pokoknya polisi enggak boleh jadi tersangka walaupun sudah purna, kalau perlu mobilnya yang jadi tersangka’. Atau, ‘Mungkin kalau korbannya Polisi atau keluarga Polisi, ceritanya lain’.
Pembaca lainnya menggoreskan tanggapan yang tak kalah menohok. Tulisannya, ‘Akumulasi kekesalan masyarakat membludak pasca-sambo,TM, oknum-oknum sampai yang sekarang ini….tapi anehnya bukan pada mikir untuk berubah ke arah yang lebih baik…’.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Masih banyak komentar senada, komentar negatif. Mereka mengekspresikan kegundahan, kekesalan, juga kemarahan terkait dengan penanganan kecelakaan lalu lintas yang menewaskan Hasya. Hasya ialah mahasiswa FISIP UI. Saat pulang dari mengikuti kegiatan di kampusnya, dia mengalami kecelakaan di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, pada 6 Oktober 2022.
Kata polisi, Hasya tak bisa mengendalikan sepeda motor yang dikendarai ketika ada orang yang tiba-tiba berbelok. Dia terjatuh dan dari arah berlawanan melaju mobil SUV yang dikemudikan pensiunan polisi, AKB (Purn) Eko Budi Setia Wahono. Korban pun ditabrak dan terlindas lalu tewas karena sekitar 30 menit tak mendapat pertolongan. Pengemudi mobil disebutkan menolak membawa Hasya ke rumah sakit.
Kasus tersebut ramai diberitakan. Lebih ramai lagi setelah Hasya yang sudah menjadi mendiang justru ditetapkan sebagai tersangka. Status itu diketahui setelah Polres Jakarta Selatan mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Perkara (SP2HP) No B/42/I/2023/LLJS kepada keluarga tanggal 16 Januari 2023. Versi polisi, korban lalai dalam berkendara sehingga mengakibatkan kecelakaan dan menyebabkan dirinya meninggal.
Aneh, tak masuk akal, tak mencerminkan keadilan, tak ada empati, tak profesional. Itulah seabrek penilaian terhadap kinerja polisi. Tak cuma keluarga korban, publik juga kecewa berat. Kecewa karena polisi menjadikan Hasya sebagai tersangka. Kecewa karena orang yang sudah menjadi korban dijadikan korban lagi.
Penetapan Hasya sebagai tersangka kiranya memang mengada-ada. Dari sisi hukum juga patut dipertanyakan, dipersoalkan. Pasal 77 KUHP telah menggariskan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia. Logikanya, manusia hidup yang menjadi tersangka saja, kalau meninggal, perkaranya diakhiri, ini orang yang sudah meninggal kenapa sampai dijadikan tersangka?
Betul bahwa setelah Hasya ditetapkan sebagai tersangka, kasusnya dihentikan. Akan tetapi, hidup tak semudah pengucapan pasal dan ayat undang-undang. Dengan berstatus tersangka, nama baik Hasya tercoreng. Dia akan dikenang sebagai penyebab kecelakaan yang menyebabkan dirinya berpulang. Dia telanjur dicap bersalah dan yang pasti, dia tak bisa membela diri atas cap buruk itu.
Wajar, sangat wajar, jika keluarga Hasya terus menuntut keadilan dan memperjuangkan kebenaran. Tak cuma mereka, publik pun demikian. Kini, menjadi tugas kepolisian untuk memberikan jawaban.
Langkah Polda Metro Jaya membentuk tim pencari fakta atau tim konsultasi dan asistensi atau apalah namanya tentu saja baik. Namun, yang lebih penting ialah hasilnya nanti yang mesti mencerminkan transparansi, kebenaran, keadilan, dan berasa empati kepada korban.
Benar kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso. Jangan sampai tim pencari fakta malah menjadikan Hasya korban ketiga kalinya. Cukup sudah dia menjadi korban kecelakaan, meninggal, lalu menjadi tersangka. Kita tak mungkin menghidupkan kembali Hasya, tetapi polisi masih bisa mencabut status tersangka darinya. Itulah harapan keluarga, juga asa kita.
Kasus Hasya bisa merusak wajah Korps Bhayangkara. Pascakasus Sambo, citra Polri terjun bebas. Mereka lantas berusaha berbenah diri dan pelan tapi pasti kredibilitas itu mulai pulih. Pada survei terkini pada Desember 2022, misalnya, tingkat kepercayaan publik pada Polri mencapai 62,4%. Cukup tinggi.
Nama baik ibarat menyimpan uang di bank. Ia harus sering ditambah agar semakin banyak, bukan malah terus digerus lewat ATM karena akan habis tak tersisa. Begitu juga dengan citra polisi mesti terus dipupuk dengan tindakan yang baik, yang profesional, yang adil. Bukan sebaliknya seperti dalam penanganan perkara Hasya.
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.