Diskusi tantangan keuangan berkelanjutan di Indonesia yang dilakukan TuK Indonesia. (SS Zoom TuK Indonesia)

Evaluasi keuangan berkelanjutan 37 Bank oleh TuK INDONESIA menemukan bahwa lingkungan merupakan aspek yang paling rendah diungkapkan berdasarkan pedoman POJK 51/2017. Rendahnya pengungkapan ini menunjukkan ketidaktahuan bank tentang pengetahuan dan wawasan terhadap lingkungan rendah serta bank memang tidak menjalankan aspek lingkungan.

Evaluasi keuangan berkelanjutan yang dilakukan TuK INDONESIA bersama Trisakti Sustainability Center  terhadap 37 Bank KBMI III, KBMI IV, dan asing tahun BUKU 2019-2021 bertujuan untuk mengetahui sejauh mana bank menerapkan kepatuhan terhadap peraturan POJK 51/2017. Hasil analisis menunjukkan bahwa aspek sosial dan ekonomi merupakan aspek yang mendominasi pada setiap periode analisis. 

Pada bank KBMI III dan IV pengungkapan paling tinggi yaitu aspek sosial di mana setiap tahunnya meningkat. Sementara pengungkapan bank asing paling tinggi di aspek ekonomi. Namun setiap kategori bank pengungkapan aspek lingkungan menjadi yang terendah, meskipun setiap tahunnya telah menunjukkan adanya kenaikan.

Temuan lainnya terkait pengungkapan nilai 12 Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB) dari 37 Bank tahun 2019-2021 dengan total sebesar Rp 62.054 miliar. Total KKUB ini mengalami kenaikan sejak 2019 hingga 2021 dan pengungkapannya didominasi oleh bank KBMI III. Hal tersebut diduga karena terjadi merger (penggabungan) 3 bank syariah, yaitu Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia. 

Peningkatan nilai KKUB tersebut juga menunjukkan awareness bank akan roadmap keuangan berkelanjutan OJK semakin bertumbuh. Meskipun demikian, temuan kontrasnya adalah 4 bank teratas di Indonesia masih banyak menyalurkan pembiayaan pada sektor yang merisikokan hutan seperti sektor perkebunan sawit dan pulp and paper. 

Ahli Sustainable Finance Rahmawati Retno Winarni mengungkapkan bahwa dalam Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan, memang pembiayaan UMKM masuk ke dalam bagian keuangan berkelanjutan. Padahal, pembiayaan UMKM masih belum melihat dampak lingkungan, sehingga tidak bisa otomatis memasukannya sebagai pembiayaan berkelanjutan. 

Secara normatif, pembiayaan atas UMKM memang bisa mengurangi kesenjangan, namun sangat perlu dibandingkan dengan proporsi pembiayaan terhadap usaha berskala besar. Pembiayaan aspek lingkungan, ternyata sangat sedikit dibandingkan dengan keseluruhan yang di klaim bank, padahal masalah lingkungan dan sosial di Indonesia sangatlah besar dan beragam. 

“Temuan TuK INDONESIA ini menunjukkan hanya 0,8-0,9% dari pembiayaan yang diklaim berkelanjutan. Di atas 99% pembiayaan di Indonesia bisa dikatakan tidak berkelanjutan, atau setidaknya agnostic terhadap keberlanjutan”, kata Rahmawati dalam diskusi yang disiarkan secara daring di Zoom dan YouTube TuK Indonesia (08/02/2023).

Linda Rosalina, Kepala Kampanye dan Pendidikan Publik TuK Indonesia, menyampaikan bahwa secara prosedural perbankan telah memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam POJK 51/2017 seperti disusunnya laporan keberlanjutan. Namun secara kualitas pengungkapannya masih buruk, sebab bank gagal mengungkapkan fakta-fakta materialitas ke dalam laporan keberlanjutannya.

Halaman Selanjutnya

“Selama ini, kelemahan praktik keuangan…


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.