Dua tahun lalu, rezim militer Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintahan yang dipilih secara demokratis – secara terang-terangan menolak keinginan rakyat Myanmar, membuat negara itu berada di jalur bencana yang telah mematikan dan membuat ribuan orang mengungsi, membalikkan kemajuan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan gigih selama dekade terakhir.
Sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021, krisis politik, ekonomi, dan kemanusiaan di Myanmar semakin parah, dengan laporan menunjukkan hampir 3.000 tewas, hampir 17.000 ditahan, dan lebih dari 1,5 juta mengungsi. Kampanye bumi hangus yang sedang berlangsung oleh rezim terus menimbulkan kerugian dan merenggut nyawa orang-orang tak berdosa, memicu konflik bersenjata yang memburuk di Myanmar dan ketidakamanan di luar perbatasannya.
Pada Selasa (31/1), pemerintah Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap enam individu dan tiga entitas yang terkait dengan upaya rezim untuk menghasilkan pendapatan dan pengadaan senjata, termasuk kepemimpinan senior Kementerian Energi Myanmar, Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar (MOGE), dan Angkatan Udara Myanmar, serta pedagang senjata dan anggota keluarga dari rekan bisnis militer yang ditunjuk sebelumnya.
“Kami juga memberikan sanksi kepada Komisi Pemilu Persatuan, yang telah dikerahkan oleh rezim untuk memajukan rencananya untuk menggelar pemilu yang sangat cacat yang akan menumbangkan keinginan rakyat Myanmar. Kami mengambil tindakan hari ini bersamaan dengan tindakan yang juga diambil oleh Inggris dan Kanada,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dalam pernyataan pers yang diperoleh Alinea.
Hingga saat ini, Blinken menyebutkan bahwa AS telah memberikan sanksi, di bawah Perintah Eksekutif 14014, 80 individu dan 30 entitas untuk merampas sarana rezim dalam melanggengkan kekerasannya dan demi mempromosikan aspirasi demokrasi rakyat Burma.
“Amerika Serikat tetap teguh dalam posisi kami bahwa pemilu yang direncanakan rezim tidak dapat bebas atau adil, tidak ketika rezim telah membunuh, menahan, atau memaksa calon pesaing untuk melarikan diri, atau sementara terus melakukan kekerasan brutal terhadap lawan damainya,” tegas Blinken.
Penegasan Blinken itu diulangi oleh juru bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel dalam pengarahan pers di Gedung Putih, Senin (1/2). “Jelas bahwa pemilu yang direncanakan rezim tidak akan bebas atau adil, sementara rezim terus membunuh, menahan, dan memaksa calon pesaing untuk melarikan diri, dan terus melakukan kekerasan brutal terhadap lawan damainya. Apa yang disebut pemilu ini, yang diadakan dalam kondisi seperti ini, hanya akan menjadi pemicu kekerasan dan ketidakstabilan lebih lanjut,” imbuh Patel.
Banyak pemangku kepentingan politik utama Myanmar telah mengumumkan penolakan mereka untuk berpartisipasi dalam pemilu ini, yang tidak akan inklusif atau representatif, dan hampir pasti akan memicu pertumpahan darah yang lebih besar.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.