Merdeka.com – Pelapor kasus dugaan penyekapan karyawan PT Meratus Line tiba-tiba mencabut laporannya ke polisi. Padahal, dalam perkara itu Direktur Utama (Dirut) Slamet Rahardjo, telah ditetapkan sebagai tersangka utama penyekapan karyawannya, yang bernama Edi Setyawan.

Pencabutan laporan kasus penyekapan karyawan PT Meratus Line ini dibenarkan oleh kuasa hukum pelapor, Eko Budiono. Dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Eko membenarkan bahwa kliennya, Mlati Muryani, telah mencabut laporan tentang penyekapan suaminya di Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

“Pencabutan laporan ini oleh kedua belah pihak dituangkan di perjanjian terus dinotariskan,” katanya, Sabtu (10/9).

Dikonfirmasi alasan pencabutan laporan, mengingat korban penyekapan yang juga suami dari pelapor masih di penjara akibat laporan balik dari PT Meratus Line, Eko menyebut karena saat ini Mlati tengah hamil. Sehingga, ia tidak mau lagi repot diperiksa bolak balik oleh polisi.

“Alasannya ya, klien saya ini kondisi sedang hamil, bolak-balik diperiksa polisi, polres-polda, nggak mau kepikiran terus. Sehingga diputuskan untuk mencabut laporan,” katanya.

Dikonfirmasi apakah ada tekanan dari pihak tertentu, mengingat sebelumnya pelapor pernah meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Eko membantahnya. Ia bercerita, sebelum melakukan pencabutan, keluarga pelapor, telah dikumpulkannya untuk meyakinkan apakah mereka benar-benar mau mencabut laporannya.

“Orangtuanya semuanya saya kumpulkan dan kita tanya soal pencabutan (laporan) ini. Dan saya juga sudah menjelaskan resiko-resikonya,” katanya.

Ditanya apakah setelah laporan penyekapan ini dicabut otomatis perkara ini dihentikan, mengingat kasus ini bukanlah delik aduan? Eko menyerahkan sepenuhnya pada polisi. “Mau di RJ (restorasi justice) atau apa lah terserah polisi,” katanya.

Sementara itu Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya AKP Arief Ryzki Wicaksana menyatakan belum menentukan sikap atas gelar pencabutan laporan perkara tersebut.

“Saya harus laporkan dulu ke Kapolres,” katanya.

Terpisah, Pakar Hukum Peter Jeremiah Setiawan menanggapi secara normatif mengenai proses penghentian perkara yang bukan kategori delik aduan ini. Ia menyebut, seharusnya tidak ada alasan bagi polisi untuk menghentikan perkara itu meski sudah ada perdamaian di depan notaris.

Ia beralasan, meski ada perdamaian tetap tidak akan menghapus tindak pidana yang telah terjadi. Akta perdamaian itu sendiri, nantinya hanya akan menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh hakim untuk memperingan hukuman terdakwa.

Ia malah menegasikan, jika ada tindak pidana yang dihentikan dengan dasar perjanjian damai di depan notaris, akan dapat menjadi preseden buruk untuk penegakkan hukum.

“Kalau akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris itu hanya dapat dipakai di pengadilan. Itu pun, secara subyektif akan dipakai atau tidak oleh hakim untuk meringankan hukuman tanpa menghilangkan tindak pidananya. Misalnya dalam perkara pencurian, orangnya berdamai dan barangnya dikembalikan. Tapi kan perbuatan pencuriannya tetap tindak pidana,” tutur Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya itu.

Sementara itu, Corp Comm PT Meratus Line Purnama Aditya tidak memberikan tanggapan terkait dengan hal ini. Dikonfirmasi melalui nomor teleponnya, hingga pukul 10.05 WIB, tidak juga memberikan respon.

Diketahui, perkara ini dilaporkan ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya pada 7 Februari 2022 lalu oleh Mlati Muryani, istri karyawan PT Meratus Line, Edi Setyawan, korban penyekapan.

Penyekapan terhadap korban Edi Setyawan dilaporkan terjadi di Gedung Meratus, Jalan Tanjung Priok Surabaya, 4 – 8 Februari 2022. Dalam perkara ini, polisi telah menetapkan satu tersangka tunggal, yakni Dirut PT Meratus Line, Slamet Rahardjo.

Namun Dirut PT Meratus Line Slamet Rahardjo juga membalas laporan itu dengan melaporkan Edi Setyawan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) pada 9 Februari 2022 dalam perkara penipuan dan penggelapan solar dari kapal-kapalnya dan telah ditetapkan sebagai tersangka.

Meski sama-sama menyandang status tersangka, namun Edi sudah masuk ke penjara lebih dulu. Sedangkan Dirut PT Meratus Line, Slamet Rahardjo hingga kini masih menghirup udara bebas.

Mlati Muryani, sang pelapor, pernah mengadukan nasibnya ke LPSK. Ia meminta perlindungan ke LPSK lantaran kerap menerima intimidasi dari pihak yang mengatasnamakan PT Meratus Line.

Kuasa hukum pelapor, Fuad Abdullah saat itu pun membenarkan telah mengajukan permohonan perlindungan pada LPSK sejak 10 Agustus 2022 lalu.

“Benar, ibu MM, istri dari pak ES telah mengajukan permohonan perlindungan pada LPSK,” katanya, Rabu (17/8) lalu.

Ia menyatakan, ada beberapa alasan mengapa pelapor mengajukan perlindungan pada LPSK. Diantaranya adalah, sejak melakukan pelaporan secara pidana terhadap Dirut PT Meratus Line, ia mengaku sering mendapatkan intimidasi atau pun teror dari orang-orang yang tidak dikenal maupun orang yang mengaku dari perusahaan PT Meratus Line.

Teror tersebut, cukup mengintimidasi ia dan keluarganya, lantaran mereka kerap menyinggahi rumah maupun kos-kos an yang dimiliki keluarganya. Kondisi tersebut, kerap kali membuatnya menjadi tidak nyaman dan serba ketakutan.

“Dari keterangan ibu MM, ada orang-orang yang datang ke rumahnya, berteriak-teriak di depan rumah bahkan ada juga yang masuk dan memfoto-foto. Bahkan ada yang mengaku berasal dari PT Meratus Line dan mendatangi pengacaranya waktu itu, menekan agar laporannya ke polisi dicabut. Jika tidak mereka (PT Meratus) akan memenjarakan ibu MM,” pungkasnya menirukan saat itu.

[rhm]


Artikel ini bersumber dari www.merdeka.com.