“Masyarakat Indonesia sangat kesal dengan para pelaku korupsi. Namun masyarakat juga tidak bisa berbuat apa-apa terhadap hukum yang ada saat ini,” ungkap Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI Hendri Satrio dalam program Hot Room di Metro TV, Rabu, 14 September 2022.
Dasar hukum pemberian program bebas bersyarat mengacu pada pasal 10 UU PAS. Setiap narapidana tanpa terkecuali pelaku pidana kasus korupsi berhak menerima program bebas bersyarat apabila telah menjalani dua per tiga dari total masa hukuman dengan berkelakuan baik.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Peraturan ini adilnya untuk siapa? Itu pertanyaannya. Kalau untuk kasus korupsi tentu pertimbangannya banyak. Menurut saya ini tidak tepat,” ungkapnya.
Hendri melanjutkan konsep pemberian hukuman kepada para koruptor sama sekali belum menimbulkan efek jera. Selain itu, petugas lapas pada faktanya cenderung subjektif dalam menilai kelakuan baik para narapidana korupsi. Ia pun mempertanyakan indikator kelakuan baik sebagai syarat pemberian program bebas bersyarat para napi korupsi.
“Penilaian kelakuan baik itu sangat subjektif. Nampak ada tebang pilih penegakan hukum dari penguasa. Pemberantasan korupsi selama ini hanya jadi lip service saja saat kampanye,” ujar dia.
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Rika Aprianti menuturkan para napi yang ingin menerima program bebas bersyarat harus memenuhi ketentuan yang sudah diatur dalam UU PAS. Selain berkelakuan baik dan melewati dua per tiga masa tahanan, para napi wajib mengikuti pembinaan kemandirian hingga keagamaan spiritual.
“Kita punya sistem penilaian narapidana. Tahun ini ada 58 ribu napi dari semua kasus yang dapat hak bersyarat,” jawab Rika.
Menengok pemberian bebas bersyaratnya Jaksa Pinangki, Rika menuturkan Pinangki telah melewati dua per tiga masa tahanan dan berkelakuan baik di dalam lapas. Dengan begitu, Pinangki memiliki hak yang sama dengan puluhan ribu narapidana yang menerima program bebas bersyarat.
“Jaksa Pinangki sama hitungannya dengan narapidana lain. Pinangki tetap harus ikuti ketentuan,” ungkapnya.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan Ditjen Lapas perlu melibatkan pihak luar sebagai legislator yang bertugas menilai kelakuan baik para narapidana. Dengan begitu, pemberian bebas bersyarat yang mengacu pada kelakuan baik para narapidana bisa lebih objektif.
“Perlu tim independen. Saat ini konsep KUHAP dan UU PAS tidak berdimensi korban tapi ke pelaku. Dimensi korban selalu terpinggirkan. 23 napi koruptor yg bebas bersyarat menurut saya tidak layak,” ungkap Boyamin.
(AGA)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.