Tangan dinginnya telah membawa perusahaannya berinvestasi pada sejumlah startup yang kemudian berkilau gemilang. Kemampuannya mengendus potensi orang, juga kekuatannya pada aspek detail, menjadi kunci suksesnya.

Jenny Lee, Managing Partner CGV (Foto BusinessToday).

Shanghai, 2010. Malam semakin larut. Sementara satu per satu tamu meninggalkan ruangan, kedua sahabat ini justru kian intens bertukar pendapat. Alih-alih mengendur karena lelah, sang perempuan, Jenny Lee, kian bersemangat mendorong lawan bicaranya untuk mewujudkan ide serta impiannya: sebuah startup produsen ponsel di China. Dia bersemangat karena tahu sahabatnya itu telah sukses membangun dua perusahaan ―satu dijual ke Amazon, satunya lagi telah melantai di Bursa Hong Kong.

Akhirnya, sebelum malam benar-benar luruh menuju waktu Subuh, mereka pun berpisah dengan senyuman serta kesepakatan. Sang pria, Lei Jun, melangkah pulang penuh keyakinan. Tak berapa lama, berdirilah Xiaomi. Lei menjadi CEO dan founder-nya, sementara Jenny menjadi angelinvestor pertama.

Pertemuan dalam rangka merayakan 10 tahun kehadiran GGV Capital di Shanghai itu ―yang juga dihadiri Jack Ma― akan dikenang sebagai salah satu titik penting dalam sejarah teknologi. Jenny sendiri, sebagai Managing Partner GGV, kemudian dikenal sebagai salah seorang dari The World’s Top 100 Venture Capitalist selama 11 tahun berturut-turut, sejak pertama kali masuk dalam daftar Midas List pada tahun 2012 versi Forbes. Perempuan ini adalah “Ratunya Investor Startup”.

“Anda dapat memahami bahwa dia (Lei Jun) akan membuat ponsel untuk masyarakat China dengan user experience yang lebih baik,” ujar Jenny mengenang pertemuan itu saat diwawancarai Forbes, tahun 2015.

Faktanya, keyakinan itu terbayar manis. Xiaomi termasuk jajaran atas pabrikan ponsel dunia dengan valuasi US$ 61 miliar. “Dunia venture capital memang sesuatu tentang mencari passion dalam mata seseorang dan keinginannya untuk memenangkannya,” katanya penuh keyakinan.

Tentu saja, reputasi sebagai venture capitalist yang disegani tidak dibangun Jenny dalam semalam. Ada insting serta kesungguhan di sana. Juga, hasrat yang begitu besar untuk menjadi seorang venture capitalist.

Lahir di Singapura pada tahun 1973, Jenny sejak belia dikenal sebagai perempuan cerdas. Terbukti, saat menginjak usia 18 tahun, dirinya mendapatkan beasiswa dari Singapore Technologies Group untuk kuliah di Jurusan Teknik Elektro, Cornell University, Amerika Serikat (AS).

Tak lama setelah lulus dari Cornell di tahun 1995, pekerjaan bergengsi didapatnya di Singapore Technology (ST) Aerospace, masuk ke divisi electronic warfare. Tugasnya merawat pesawat tempur yang akan digunakan untuk perang. Bahkan, dia juga sempat memodifikasi jet tempur F-16. “Setiap hari, saya disiram matahari, bersama para teknisi serta pilot-pilot jet tempur. Sangat menyenangkan,” dia bercerita.

Sebagai rising star di kontraktor pertahanan, empat tahun kemudian (1999), perusahaannya mengirim Jenny ke Kellogg School of Management. Tanpa kesulitan, dia pun meraih MBA-nya di tahun 2001.

Halaman Selanjutnya

Namun, apa yang terjadi kemudian…


Artikel ini bersumber dari swa.co.id.