Pendiri BWF Oryza Wirawan membenarkan BWF dibentuk sebagai upaya mengubah citra bonek yang sangat negatif di masa lalu. Menurut dia, bonek selalu dibingkai sebagai kelompok suporter fanatik yang tak beradab oleh media massa.
“Saat kami melakukan perlawanan terhadap PSSI, media massa mainstream selalu memberitakan kami negatif. Kami memanfaatkan media sosial dengan masif, terutama Facebook. Dari situ, bisa diketahui kalau tulisan mereka itu bagus. Mereka itu punya kemampuan menulis untuk sarana mengawal Persebaya,” kata Oryza kepada Alinea.id, Selasa (11/10).
Upaya membangun budaya literasi di kalangan bonek digarap serius oleh Oryza. Bersama rekan-rekannya, ia merampungkan buku elektronik berjudul Make Persebaya Great Again. Buku itu dipersembahkan sebagai hadiah ulang tahun Persebaya yang ke-93.
“Setelah sukses menyusun buku itu, kami berlanjut membuat buku lain, mulai dari Talak Bala Sepak Bola yang menceritakan soal bencana di stadion dan juga Sepak Bola dan Kelas Pekerja. Saya ajak teman-teman untuk menulis aspek apa pun tentang Persebaya,” tutur Oryza.
Untuk membentuk citra Bonek dalam ranah literasi, Oryza merangkul kalangan jurnalis dan penulis yang memang memiliki ketertarikan tentang dunia sepakbola, khususnya terkait Persebaya. Itu supaya tulisan yang dibuat kaya dengan analisis tajam dan tidak semata bermuatan propaganda.
“Niatan kami membentuk BWF itu untuk mendokumentasikan apapun yang terkait Persebaya supaya tidak tertelan zaman. Kita sering sekali mengabaikan aspek sejarah. Kami tahu bahwasanya enggak mungkin media massa mainstream itu nulis sejarah Persebaya secara lebih spesifik. Kami merasa penting menulis sejarah kami sendiri,” terang dia.
BWF, kata Oryza, telah merilis lima buku tentang Persebaya. Namun, ia merasa buku dan tulisan-tulisan yang diproduksi BWF di media sosial turut berkontribusi mengubah karakter para bonek. Sejak 2011, bonek dikenal lebih kalem.
“Pada 2006, mereka bikin kerusuhan besar di Persebaya sampai diliput televisi. Tapi, dua belas tahun kemudian mereka bisa relatif lebih positif. Saya lihatnya gini, selama empat tahun mereka vakum itu, banyak tulisan-tulisan yang memberi kebanggaan pada bonek. Itu menaikkan martabat bonek. Artinya, kalau kita terus-menerus yang jelek-jelek saja, maka stigma itu yang tertanam,” tutur Oryza.
Mendidik suporter sepak bola lewat tulisan, kata Oryza, tak mudah. Menurut dia, masih ada saja kelompok suporter yang tak mau berubah. Saat Persebaya bertandang ke kota lain, nama bonek bahkan kerap dipakai oknum suporter untuk melanggar hukum.
“Karena di bonek itu cair sekali soal keanggotaan. Kami enggak ada ketua atau pun struktur. Jadi, ya, semua orang bisa dengan mudah menganggap dirinya dan mengatasnamakan bonek. Akhirnya, ketika dia berbuat kriminal, ya, bonek yang kena imbas,” kata Oryza.
Saat ini, BWF punya sekitar 30 anggota. Kebanyakan ialah penulis dan jurnalis. Oryza mengatakan BWF tengah berupaya merangkul kalangan bonek muda. Lewat BWF, ia berharap lahir penulis-penulis baru sehingga gerakan literasi bonek terus berkesinambungan.
“Sekarang ini, sebenarnya sejumlah jurnalis atau penulis yang semula malu-malu diidentifikasikan dengan Persebaya, karena faktor bonek yang negatif itu, enggak malu lagi. Jadi, ketika bonek berubah ke arah yang lebih baik, orang tidak segan mengasosiasikan diri sama bonek. Itu saja sudah bagus sebenarnya,” kata Oryza.
Bangun gerakan sosial
Upaya mereformasi bonek juga dilakukan pentolan suporter Persebaya, Arif Firmansyah. Bersama rekan-rekannya di Green Nord 27, salah satu kelompok suporter yang biasanya menghuni tribun utara Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), Arif menggagas pembentukan tim paramedis dan SAR ala bonek.
Pada 2018, tim itu terjun dalam operasi kemanusiaan pascagempa di Palu, Sulawesi. Ketika itu, tim yang digagas Arif cs bernama Green Nord Peduli. Saat terjun dalam operasi pascabencana di Lombok, Green Nord Peduli berganti nama menjadi Bonek Disasters Respons Team (BDRT).
“Pada waktu itu, hanya sedikit yang bergabung. Awalnya, cuma 6 orang atau 7 orang yang berangkat ke lokasi bencana di Palu. Seiring berjalannya waktu, akhirnya kami open recruitment. Ternyata, banyak teman-teman yang memiliki jiwa kemanusiaan yang bergabung,” kata Arif kepada Alinea.id, Rabu (12/10).
Pembentukan organisasi tanggap bencana itu salah satu upaya untuk memperbaiki citra bonek yang cenderung negatif di mata publik. Selain mengawal jalannya pertandingan, tim itu juga bisa sewaktu-waktu diterjunkan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana.
“Kami punya pandangan, hal terpenting dalam dunia sepakbola, selain kemenangan, adalah kemanusiaan. Ketika itu, di Gelora Bung Tomo, kami terus sisipkan itu dalam edukasi keselamatan di stadion, di mana pintu keluarnya, ketika kejadian itu saya harus ngapain. Dari situ, kami masuk,” kata Arif.
Menurut Arif, kehadiran BDRT tergolong sukses menggerus citra negatif bonek. Itu terutama dirasakan Arif dan anggota tim BDRT saat menggelar sejumlah operasi kemanusiaan ke berbagai daerah yang dirundung bencana alam.
“Kami kasih bantuan dan sebagainya. Orang-orang itu melihat bonek itu di televisi itu anarkis. Tapi, ternyata mereka bisa 180 derajat berubah pikiran begitu melihat kehadiran kita di daerah tanggap bencana,” kata Arif.
Arif mengaku tantangan terberat BDRT ialah menjamin keselamatan para bonek. Pada laga tandang, BDRT tak sanggup memastikan semua suporter Persebaya pulang dengan selamat. Itu lantaran masih banyak suporter yang belum sadar mengenai pentingnya menjaga diri saat menjadi tamu di kota lain.
“Bagi kami yang terberat adalah zero accident, itu PR (pekerjaan rumah) kita. Ketika Persebaya away (tandang) ke mana, itu teman-teman yang estafet itu banyak. Kita kasih tahu kalau mendukung Persebaya itu harus aman dan nyaman. Sebelum tragedi Kanjuruhan, tragedi (yang memakan korban) tertinggi itu ada pada bonek. Setiap laga away, itu pasti ada korban,” ujar Arif.
Saat ini, BDRT punya sekitar 45 anggota. Kebanyakan anggotanya berasal dari kalangan mahasiswa, dokter, dan perawat. BDRT juga punya dua unit ambulans yang siap dikerahkan untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang kurang mampu di sekitar Surabaya.
Selain menjaga kesehatan suporter di stadion, BDRT juga rutin menggelar lelang jersey para pesepak bola legendaris Persebaya. Dana yang digalang dari lelang disalurkan untuk masyarakat membutuhkan bantuan sosial kemanusiaan.
“Impian kami ingin menjaga suporter berangkat sehat, pulang sehat. Sehingga tidak ada korban lagi dalam dunia sepakbola,” kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai anggota tim SAR Basarnas itu.
Saham suporter
Upaya berbeda untuk mengubah karakter suporter dilakukan North Jakarta Mania, kelompk suporter setia Persitara Jakarta Utara. Ketua Umum NJ Mania Parid mengatakan ia dan rekan-rekannya sedang berupaya memiliki saham di Persitara.
“Alhamdulillah, kami punya saham. Tapi, ini sedang berproses. Itu kita lakukan supaya kita punya suara di klub. Paling enggak di atas sepuluh persen kami bakal punya saham di Persitara,” kata Parid kepada Alinea.id, Kamis (13/10).
Parid mengatakan perjuangan memperoleh saham di Persitara dimulai sejak 2020. Gagasan itu muncul lantaran Parid dan kawan-kawan kerap merasa NJ Mania hanya dijadikan “kaum pinggiran” di Persitara. Mereka tidak pernah dilibatkan dalam kebijakan strategis klub.
“Sehingga kami merasa NJ Mania harus mengawal dari dalam dan tidak hanya bersuara di tribun. Kita enggak bisa bersuara di dalam, sulit,” ujar dia.
Dengan punya saham di klub, menurut Parid, bakal terbangun rasa memiliki di kalangan suporter. Ia meyakini para suporter tidak akan bertindak anarkis sehingga merugikan klub. Pasalnya, kerugian klub bakal jadi kerugian suporter.
“Kalau suporter itu punya rasa memiliki dia bakal menjaga klub supaya tidak disanksi. Banyak klub di Indonesia, klubnya besar dan support-nya besar, tapi dia tidak mampu mengawal klub karena dia enggak punya kendali sama klub. Semestinya, kalau dia suporter besar, dia punya kendali besar,” kata Parid.
Edukasi suporter, lanjut Parid, juga terus-menerus dilakukan. Ia mencontohkan program-program edukasi antinarkoba untuk kalangan suporter NJ Mania. Program edukasi semacam itu rutin digelar lantaran Jakarta Utara terkenal sebagai sarang narkotika.
Kepada para suporter, NJ Mania juga mewajibkan untuk membeli tiket setiap kali Persitara bertanding. “Percuma kalau kita punya saham klub, tapi watak kita belum berubah untuk menjaga klub,” cetus Parid.
Tak kalah penting, Parid juga membiasakan suporter NJ Mania untuk aktif terlibat dalam beragam kegiatan sosial di Jakarta Utara dan sekitarnya. NJ Mania, kata dia, perlu membangun citra positif agar mendapat atensi warga DKI Jakarta.
“Kami sudah mulai waktu pandemi. Kami melakukan penyemprotan disinfektan dan kita bersihkan sampah di laut sebagai bentuk keterlibatan kami supaya tidak dilihat hanya sebagai perusuh sepak bola,” kata Parid.
Peran PSSI
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Triyono mengatakan upaya transformasi komunitas-komunitas suporter sepak bola di berbagai daerah patut diapresiasi. Menurut dia, tak semestinya suporter hanya menonjolkan fanatisme buta yang kerap merugikan klub.
Upaya-upaya mandiri itu, lanjut Triyono, terasa kian penting lantaran PSSI juga kerap melupakan pembinaan suporter. Padahal, tanpa kehadiran suporter, industri sepak bola Indonesia tidak akan pernah berkembang. Terlebih, sebagian besar penghasilan klub berasal dari penjualan tiket masuk ke stadion.
“Kalau kita lihat PSSI itu kan, hadirnya tidak terasa untuk suporter. Perannya suporter hanya sebagai eksploitasi saja. Kalau ada klub bertanding, fanatisme itu kan dieksploitasi dalam bentuk tiket yang mahal. Tapi, enggak ada ujungnya untuk pembinaan suporter dan malah enggak ada sampai sekarang,” kata Triyono kepada Alinea.id.
Triyono memandang gerakan transformasi suporter mulai marak sejak klub-klub sepak bola di Indonesia dilarang menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) pada 2010. Tak hanya mendukung di pinggir lapangan, banyak komunitas suporter dilibatkan untuk menyokong keuangan klub.
“Mulai dari pembuatan merchandise dan sebagainya untuk bisa menghidupi klub. Nilai positif dari fanatisme kan itu, yakni bagaimana mengelola fanatisme. Bagaimana mengelola suatu perusahaan bisa memiliki citra bagi pemangku kepentingan. Salah satunya kepada sponsor. Kalau suporter itu bisa memberikan citra yang bagus, secara tidak langsung, akan memberikan daya tawar kepada perusahaan untuk menjadi sponsor,” kata Triyono.
Sejauh ini, Triono menilai komunitas suporter di Indonesia masih menjadi korban eksploitasi otoritas sepakbola nasional dan media. Jika tidak dikelola dengan baik, menurut dia, fanatisme suporter bisa berujung tragedi sebagaimana yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang.
“Untuk kasus yang Malang itu kan sudah banyak protes-protes. Kenapa sih harus malam (pertandingan digelar). Itu jelas sisi kapitalisasi. Dampaknya ngeri sekali. Ini kan yang meninggal ini kan orang-orang yang produktif… Ya, jalan keluarnya edukasi hingga level terbawah. Itu yang seharusnya dilakukan PSSI,” kata Triyono.
Sebagaimana yang dilakukan Persitara, Triyono pun menyarankan agar klub di Indonesia juga mulai membuka diri dengan “berbagi” saham kepada suporter. Kepemilikan saham, kata dia, bisa menggerus karakter beringas suporter.
“Saya membayangkan klub kita itu seperti Barcelona. Klub Barcelona ini bentuknya seperti koperasi. Jadi, suporter bisa memeriksa lewat situ. Jadi, ketika memilih presiden klub, mereka ikut andil,” kata Triyono.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.